Alkisah, di tahun 2018, sekumpulan mahasiswa doktor dari berbagai perguruan tinggi negeri berkumpul, bukan untuk sekadar berdiskusi ilmiah atau membahas teori-teori berat, melainkan untuk sesuatu yang lebih fundamental: perjuangan. Mereka berhimpun dalam satu gerakan bernama Aliansi Mahasiswa Doktor Indonesia (AMDI), dengan satu tujuan utama—memperjuangkan beasiswa yang menjadi denyut nadi kelangsungan studi mereka.

Dalam dinamika akademik yang penuh tantangan, perjuangan AMDI bukan sekadar meminta, tetapi mengukuhkan posisi mahasiswa doktor sebagai elemen penting dalam ekosistem pendidikan tinggi. Mereka adalah benih-benih intelektual yang suatu hari kelak akan menaburkan pengetahuan ke berbagai penjuru negeri. Seiring waktu, mereka menyadari bahwa perjuangan ini tidak boleh berhenti di batas beasiswa saja, melainkan harus meluas ke ranah yang lebih besar, pengembangan ilmu pengetahuan dan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Maka, di tahun 2022, gerakan ini menjelma menjadi Organisasi Dosen Doktor Indonesia (DDI)—sebuah wadah yang lebih besar dan lebih kokoh. Dari sekadar aliansi perjuangan, mereka bertransformasi menjadi komunitas intelektual yang beranggotakan para doktor dari berbagai disiplin ilmu. Kini, mereka tidak hanya memikirkan bagaimana mendapatkan beasiswa, tetapi juga bagaimana menyalakan obor ilmu dalam tiga pilar utama- pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—persis seperti amanat Tridarma Perguruan Tinggi.

DDI bukan sekadar kumpulan akademisi dengan gelar mentereng. Mereka adalah para penjaga gawang ilmu yang bertekad menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat inovasi dan solusi bagi bangsa. Mereka mengajarkan, meneliti, dan mengabdi, bukan sekadar untuk memenuhi kewajiban akademik, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab intelektual.

Maka, jika ada yang bertanya, “Apa itu DDI?” jawabannya bukan sekadar sebuah organisasi. Ia adalah perjalanan, dari perjuangan mahasiswa hingga menjadi garda ilmu yang siap menerangi negeri.